Selasa, 30 Mei 2017

YERUSALEM BENAR-BENAR PUSAT DUNIA?...



YERUSALEM BENAR-BENAR PUSAT DUNIA ?..
(Courtesy of Lion / Lamb Ministries - wawancara antara Nathan Jones dan Dr. David Reagan. Nathan Jones: Kami diberitahu dalam kitab Yehezkiel di dua tempat bahwa Yerusalem adalah pusat dunia. Misalnya, dalam Yehezkiel 5: 5, Yeremia mengutip firman Allah, "Inilah Yerusalem; Saya telah menempatkannya di pusat bangsa-bangsa. "Dan lagi, dalam Yehezkiel 38:12 orang-orang Yahudi disebut sebagai orang-orang yang tinggal di" pusat dunia. "Dan sebenarnya, bahasa Ibrani literal berbunyi," Pusar dunia. ". Reagan: Di zaman kuno diyakini bahwa bumi adalah pusat alam semesta. Seorang astronom Polandia dengan nama Nicolaus Copernicus menantang konsep itu pada tahun 1543 ketika dia menerbitkan sebuah buku dengan alasan bahwa matahari dan bukan bumi adalah pusat alam semesta. Idenya diambil oleh astronom lain, Galileo Galilei, yang berasal dari Italia. Galileo menjadi juara teori Copernicus, dan pada tahun 1632 ketika dia menerbitkan sebuah buku yang membela teori, dia dikenai Inkuisisi. Galileo ditemukan "tersesat dengan keras karena ajaran sesat" dan dia terpaksa mengundurkan diri. Dia menghabiskan sisa hidupnya di bawah tahanan rumah. Klaim bahwa bumi bukanlah pusat alam semesta terbukti benar secara geografis, tapi tidak secara spiritual, bukan?.. Nathan Jones: Itu benar! Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa bumi ini adalah pusat alam semesta secara rohani, karena ini adalah fokus dari rencana penebusan Allah. Di planet ini dan di kota Yerusalem Anak Allah, Yesus, mati untuk dosa-dosa kita. Dan, di kota Yerusalem yang sama itulah Yesus telah berjanji untuk kembali dan memerintah atas seluruh dunia.
Dr. Reagan: Pada tahun 1581 seorang kartografer Jerman bernama Heinrich Bunting membuat peta yang menarik. Dia tahu dunia tidak berbentuk seperti ini, tapi karena dia juga seorang profesor teologi, dia menggambarnya dengan cara untuk menggambarkan ajaran Alkitab bahwa Yerusalem adalah pusat bumi secara rohani. Nathan Jones: Nubuat yang mengatakan bahwa Mesias akan kembali ke Yerusalem dapat ditemukan di Zakharia 14. Bagian ini mengatakan bahwa ketika Yerusalem akan jatuh ke Antikristus dan pasukannya pada akhir zaman, Mesias akan kembali ke Bukit Zaitun di Yerusalem Dikatakan bahwa ketika kaki-Nya menyentuh Gunung, sebuah gempa besar akan memecah gunung menjadi dua. Yesus akan berbicara dengan kata supranatural, dan Antikristus dan pasukannya akan dibunuh seketika. Dan, di ayat 9, dikatakan bahwa pada hari itu Yesus akan mulai memerintah atas seluruh bumi dari Yerusalem.
Dr. Reagan: Kebetulan, itulah alasan Bukit Zaitun ditutupi puluhan ribu kuburan. Orang-orang Yahudi Orthodox mungkin tidak percaya kepada Yesus sebagai Mesias mereka, tetapi mereka percaya nubuatan Zakharia 14 bahwa Mesias mereka akan datang ke bumi di Bukit Zaitun. Oleh karena itu, mereka berkeinginan untuk dikuburkan di Gunung tersebut sehingga mereka akan menjadi yang pertama dibangkitkan.
YERUSALEM Tanda Waktu Akhir.
Dr. Reagan: Kita hidup pada waktu yang dipinjam karena Yesus akan kembali. Seratus tahun yang lalu tidak ada tanda-tanda yang nyata, terukur, pasti yang menunjuk pada kedatangan Tuhan yang segera kembali. Hari ini, mereka ada dimana-mana.
Nathan Jones: Tanda yang paling penting adalah yang berhubungan dengan bangsa Israel, karena Israel adalah batu penjuru akhir zaman nubuatan Alkitab. Empat nubuatan secara khusus mengidentifikasi hari kita dengan tepat pada saat musim kembalinya Tuhan. Mereka:
1) kumpulan orang-orang Yahudi di seluruh dunia sampai ke tanah air mereka yang dimulai pada tahun 1890-an dan berlanjut hingga hari ini,
2) pembentukan kembali negara Yahudi yang terjadi pada tanggal 14 Mei 1948,
3) pendudukan kembali Yerusalem yang terjadi pada tanggal 7 Juni 1967, dan
4) nubuat yang dipenuhi sekarang bahwa pada akhirnya zaman semua bangsa di dunia akan bersatu melawan Israel mengenai masalah siapa yang akan mengendalikan Yerusalem.
Dr. Reagan: Dan itu bukan satu-satunya ramalan akhir zaman yang digenapi akhir-akhir ini. Dua lagi yang akan saya sebutkan adalah:
1) kebangkitan Kekaisaran Romawi kuno dalam bentuk Uni Eropa, sesuatu yang diprediksi nabi Daniel lebih dari 2.500 tahun yang lalu, dan
2) Kemurtadan yang berkembang pesat di Gereja yang diperkirakan oleh Rasul Paulus akan terjadi di akhir zaman.
Kami harap ini membantu membuka mata Anda terhadap keajaiban nubuat Alkitab dan memotivasi Anda untuk mempelajari Firman Tuhan.

Jumat, 26 Mei 2017

FREEDOM OF ELECTOR, DECIDES AND RESPONSIBLE (Paulinus Kalkoy, Religious Philosophy)

 
A. LIFE AND SARTRE WORKS
Jean-Paul Sartre was born in 1905 as the son of Jean-Batiste, a French navy officer, and Anne-Marie Schweiter. Since youth, he has shown great interest and talent in literary works. His interest in philosophy grew when he met Hendri Bergson (1849-1941) at Ėncole Normale, Paris, where he studied. Between 1934-1935, Sartre spent his time at the Francais Institute in Berlin, where he studied Husserl's phenmonology. Sartre wrote the book Transcenental Ego (1936) in Germany while he was still at the Institute. He claimed that his book was written on the influence of Husserl. In Berlin he also wrote his famous novel La Nausėe (nausea) which he regarded himself as his best work to the end of his career.
During World War II, Sartre was active in the French defense until he became a prisoner of war of the German army. In the prisoner of war camp, he read Heidegger's writings. His references to Heidegger's thoughts show that Heidegger's thoughts have a profound effect on them. This is especially evident in his monumental work of L'être et le Nėant (Being and Nothingness, Existence and Absence). Sartre wrote many books and he produced more than 30 volumes of books and as a continuation of Being and Nothingness (1943), he wrote his great work Critique of Dialectical Reason (1960). His last book is a three volume work on Fleubert, entitled The Idiot of the Familiy, 1971-1972. Sartre was a man of commitment to freedom and this led him to refuse to accept the Nobel Prize for literature awarded to him in 1964. The reason is, "I do not want to be transformed into a situation bond." Sartre lived a modest life with little property in a small apartment in Paris. Her health declined and was almost blind. He eventually died on April 15, 1980, at the age of seventy-four.

 
B. HUMAN AND FREEDOMThe name Sartre is often identified with existentialism, because it always refers to the writings of other philosophers discussing existentialism. His thoughts on existentialism are contained in his writings L'Existentialism est un humanism, a lecture material he published in 1946. The attempt to understand his thinking about man and his freedom is good if it begins with an attempt to understand his understanding of human existence and essence.
1. Human Existence and Essence: Understanding Freedom.During his lifetime, Sartre almost put most of his philosophical studies on the existence of individual human beings. As a result, he formulates the core basic principle of existentialism: existence precedes essence. [1] How does this formulation help us understand human nature?
Sartre argues that attempts to explain the reality of human existence are not the same as the reality of things. The implicit intentions Sartre wanted to show here were that humans possessed a sublime dignity beyond the existing things. This emphasis on human subjects, as well as to reveal the existence of a freedom in each person to make himself in accordance with what he wanted. Man is freedom that creates totally, then he perfects himself, he is a design for the future. Thus, human nature (human essence) can not be determined, but it is open at all. It means that man is a "thing" that moves itself into the future and the movement is consciously realized. This forward movement opens up possibilities and opportunities for itself to freely determine what it desires itself for itself. This is what Sartre means by human essence: self-determination without intervention and interference from other people or parties. However, for him, this determination can only happen if man has come first. The human being called it by the term ėrtre pour-soi, being for itself, the way of being open, dynamic, and with subjective consciousness. [2] A reality different from the things Sartre termed Sartre with ėrtre en-soi. What is meant by being this way is the way to be that is closed, static, passive, and without consciousness.


 2. Man is the Freedom to Choose and Decide.Sartre argues that the human hectare is freedom and human freedom is absolute. [3] Again, that freedom is only possessed by mere mortals. [4] It is a necessity because it is a requirement for human development and development. Human rality is free, bassically and completely free. [5] While freedom appears in the fact that man is not himself, but always in a situation of being yourself. The situation in which man is required not to stop himself but strives to change himself. This endeavor is accompanied by decisions on choices that human beings can choose. In this endeavor man acts alone without the help of others. He must determine for himself and for all mankind. In deciding, I have no evidence or reason that the verdict is true. I'm the only one who guarantees the verdict is true.
To this end, Sartre merely draws attention to one of the most obvious human experiences, namely that all humans must choose, have to make decisions and, without authoritative determinations, humans must choose. This decision-making is directly related to the determination of the essence of man himself. Thus, man is the individual who first exists and then he himself determines his essence by making free choices on the various possibilities he faces. This choice in the determination of life is a form of a project which man endeavors both to himself and to the world. To the self, man seeks a project that aims to achieve a possibility in his existence. Those possibilities continue to connect as long as humans still exist. And this effort takes place in the world because man is being-in-the world. [6]
3. Human Freedom Demands Responsibility To Yourself and OthersMan is free to determine what is his essence. And this determination is done by making choices. However, the freedom to make this choice is accompanied by a deep fear, because with that choice man declares his responsibility not to himself but also to others. Sartre explains, because man first realizes that he exists, it means man realizes that he is facing the future, and he realizes he does. This emphasizes a responsibility in humans. [7] According to him, when a man realizes himself confronted with something, realizing that he has chosen to be, he is at the same time responsible for deciding for himself and for everyone, and at that very moment man can not escape from total responsibility. So he says that we are responsible for the whole of our existence and even we are responsible for all human beings, because we are constantly human beings who choose and by choosing ourselves as well we also choose for others. Against ourselves, humans are also required to be accountable to nature. Man is fully responsible, even to his nature, because his feelings are shaped by his own deeds.
In relation to others as part of the fact of human existence that exist together freely, Sartre also argues that my freedom must also take into account the freedom of others. I can not make my freedom a goal without simultaneously making the same thing with the freedom of others. So I am free, but in my freedom I should also give others the opportunity to express their freedom. In this context, giving meaning to life and the world of life will become possible. Indeed he once mentions others as "hell", but then he wants a bond and he finds others as a condition for his own existence. In relation to this, he once expressed his view of relationships with others as follows: the nature of relationships between human beings is a conflict: others make me an object or I make the same thing to others. Man will only be closer to one another, if he joins against a third person, because then will appear an objective "us". [8] The context of this view is to criticize the fact that human life is shackled in the habit of making others as an object that serves as a tool for self-development.



4. Human Freedom As In Relation With God's ExistenceSartre's assertion that existence precedes essence has in fact caused the denial of God's existence. What does God say about the phrase? The essence of Sartre's talk of God is that he denies the existence of God. He criticized the view that put God as a creator who, in other words, wanted to say that the essence of man had existed before. The essence of God who gains existence in the creation or presence of man in the world. Sartre rejects this view by arguing that the first exists in humankind namely its existence then the essence of man's own, not God or any other person. If there is an omniscient and omnipotent God, he says, then everything that is not God is His creation. In that case, in God there is a kind of creation plan in which the essence of things, including the essence of man, has been determined. Thus, a human can not change essentially and can not attain a higher level than the one prescribed by God. Sartre rejects this fact. He said, if God existed, He would be the full identity of existence and consciousness. That is why he consciously chooses atheism as his way of life.
In the context of freedom, the question can be asked: how could man determine freely his life if he had to act in accordance with the intervention of God? Man is the freedom so that he alone determines his essence and not the essence it already existed in God before man existed. In this way, the existence of God is rejected by Sartre. If God exists, man is not free. On the other hand, if man is free, God must be absent. [9] This is Sartre's anthropological thought placed in the frame of his talk of freedom.
Thus has been discussed about human freedom in determining its essence in the view of Jean-Paul Sartre. The point is that man is the subject that determines his own essence after he exists. This determination is done by various choices that require him to decide which value should be part of it. In this effort, humans not only move alone but also together with others. The consequence of this view is that the existence of God must be rejected, because if there is a God's existence then man has no freedom to determine his essence.

Jumat, 12 Mei 2017

USKUP ORTHODOX YUNANI MENYUKAI MITRA DOMINASI DUNIA YAHUDI SETELAH MENARIK DARI KUNJUNGAN JERUSALEM




Uskup Seraphim, seorang Uskup Ortodoks Yunani, telah menggunakan posisinya untuk memata-matai teori persekongkolan antisemit dan mengumumkan agamanya menentang dominasi dunia "Zionis". Marah dengan keputusan untuk menggantikannya dengan uskup lain dalam perjalanan ke Israel untuk Festival Paskah Api Suci. Seraphim kemudian menyalahkan Israel karena menghalangi kunjungannya dan kemudian mengkhianati kejahatan Zionisme. Dia mengatakan bahwa Kekristenan Ortodoks menentang Zionisme, "terutama melawan sayap Zionisme yang mencari dominasi dunia".
Dia menuduh kelompok denominasi Kristen lainnya bersikap pro-Yahudi, dan menuduh orang Yahudi menggunakan kebebasan untuk menyusup ke pemerintah. Dia juga mengutip dari Protokol Para Sesepuh Sion, yang darinya banyak mitos antisemitisme seputar dugaan upaya Yahudi untuk menguasai dunia berasal. Menurut Definisi Antisemitisme, "Menggunakan simbol dan gambar yang terkait dengan antisemitisme klasik (misalnya klaim orang Yahudi yang membunuh Yesus atau pencemaran nama baik darah) untuk menandai Israel atau Israel" adalah Antisemit, walaupun tampaknya dia juga berbicara secara langsung dan tegas mengenai orang Yahudi, terlalu.
Dia menghadapi tuntutan hukum atas pernyataannya dari Pemantau Helsinki Yunani. Dewan Pusat Komunitas Yahudi di Yunani mengeluarkan pernyataan berikut: "Sekali lagi, kami tidak terkejut dengan delirium baru Orthodox Metropolitan Piraeus, Seraphim, yang diterbitkan di halaman web resmi Keuskupan Agung Piraeus," kata masyarakat tersebut dalam sebuah pernyataan. "Meskipun upaya sungguh-sungguh untuk membongkar tuduhan antisemitisme, dalam tulisannya yang panjang ia merujuk pada antisemitisme sebagai anti-Zionisme, menggunakan stereotip antisemitik yang terkenal, teori persekongkolan dan sikap membenci Yahudi tradisional, agar tidak dicirikan sebagai antisemite tapi sebagai Anti-Zionis. "
"Kami percaya bahwa pernyataannya tidak sesuai dengan status pejabat Gereja Orthodok Yunani, sebuah Gereja yang membangkitkan cinta dan solidaritas, tidak dengan status pejabat negara yang berkewajiban untuk tetap setia kepada Konstitusi dan hukum-hukum Negara Yunani "

HISTORY OF ZIONISME




Zionisme sebagai gerakan yang terorganisasi umumnya dianggap telah didirikan oleh Theodor Herzl pada tahun 1897. Namun, sejarah Zionisme dimulai lebih awal dan terkait dengan sejarah Yudaisme dan Yahudi. Sion Hovevei, atau Pecinta Sion, bertanggung jawab atas penciptaan 20 permukiman Yahudi baru di Palestina antara tahun 1870 dan 1897. [1]
Sebelum Holocaust, tujuan utama gerakan tersebut adalah penciptaan sebuah rumah nasional dan pusat kebudayaan Yahudi di Palestina dengan memfasilitasi migrasi orang Yahudi. Setelah Holocaust, gerakan tersebut berfokus pada penciptaan sebuah negara Yahudi (biasanya didefinisikan sebagai negara sekuler dengan mayoritas Yahudi), mencapai tujuannya pada tahun 1948 dengan penciptaan Israel.
Sejak penciptaan Israel, pentingnya gerakan Zionis sebagai sebuah organisasi telah menurun, karena negara Israel telah tumbuh lebih kuat. [2]
Gerakan Zionis terus ada, bekerja untuk mendukung Israel, membantu orang-orang Yahudi yang teraniaya dan mendorong emigrasi Yahudi ke Israel. Sementara kebanyakan partai politik Israel terus mendefinisikan diri mereka sebagai Zionis, pemikiran politik modern Israel tidak lagi dirumuskan dalam gerakan Zionis.
Keberhasilan Zionisme berarti bahwa persentase populasi Yahudi di dunia yang tinggal di Israel terus berkembang selama bertahun-tahun dan saat ini 40% orang Yahudi di dunia tinggal di Israel. Tidak ada contoh lain dalam sejarah manusia tentang sebuah bangsa yang dibangun kembali setelah masa eksistensi yang panjang seperti diaspora.

Rabu, 10 Mei 2017

Pesan Yang Disampaikan Presiden Israel Saat Terima Delegasi MUI




Tel Aviv - Sebuah foto yang diunggah di akun Twitter milik Presiden Israel Reuven Rivlin memperlihatkan pertemuan kepala negara negeri Zionis itu dengan perwakilan umat Muslim. 
"Speaking with Muslim leaders from #Indonesia. #Israel has no war with #Islam. Indeed, we are not doomed to live together, it is our destinty," demikian cuitan di akun @PresidentRuvi pada 19 Januari 2017. Dalam Twitternya, Presiden Rivlin mengungkapkan pertemuannya dengan sejumlah pemuka Muslim dari Indonesia. Ia juga menegaskan bahwa Israel tak memusuhi Islam. 
Seperti dikutip dari laman Kementerian Luar Negeri Israel, , pertemuan itu digelar pada Rabu 18 Januari 2017. Pemuka Muslim yang dimaksud adalah delegasi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Pertemuan Rivlin dan delegasi MUI terselenggara atas inisiatif dari Australia/Israel & Jewish Affairs Council (AIJAC).
Dalam pertemuan itu, Presiden Rivlin bercerita tentang keluarganya yang pulang ke tanah Israel dua abad lalu dari pengasingan. Kemudian, mereka menetap di Yerusalem selama bertahun-tahun.
"Bertahun-tahun, kami semua tinggal di Yerusalem, hubungan antara Muslim, Kristen, dan Yahudi berlangsung harmonis," kata Rivlin.
"Kita tak akan hancur karena tinggal bersama. Kita justru ditakdirkan untuk hidup bersama," ia melanjutkan.
Presiden Rivlin juga mengatakan, Israel tak pernah berperang dengan Islam.
"Saya yakinkan Anda semua, bahwa Yerusalem adalah kota Tuhan, setiap orang boleh melakukan ibadah di kota ini sesuai keyakinannya. Israel akan terus berusaha mempertahankan hal ini," ujar Presiden Rivlin.
Tanggapan MUI
Foto yang menunjukkan delegasi MUI bersama Presiden Israel kemudian menyebar di Tanah Air, hingga menyulut kontroversi.
Saat dikonfirmasi, anggota Dewan Pertimbangan MUI Cholil Ridwan mengatakan, seharusnya anggota MUI tidak boleh berkunjung ke Israel dengan mengatasnamakan lembaga.
Terlebih lagi, menurut Cholil, mereka bertemu Presiden Israel. Sebab, tidak ada hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Israel.
"Saya belum tahu. Tapi itu sangat tidak patut dan karena Indonesia tidak ada hubungan diplomatik dengan Israel," ujar Cholil saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (20/1/2017).
"Dan secara politik, MUI tidak ada hubungan dengan Israel," dia menambahkan.
Harusnya, kata Cholil, anggota MUI dapat belajar dari kasus Abdurrahman Wahid atau Gus Dur saat berkunjung ke Israel pada 1994. Saat itu Gus Dur mendapat reaksi negatif.
"Kan ada contoh Gus Dur yang datang ke Israel. Jadi mengacu pada kasus yang lalu, mestinya pengurus MUI tidak boleh ke sana (Israel). Sementara negara Timur Tengah baru bermusuhan dengan Isreal," ujar Ketua MUI 2005-2015 itu.
Di sisi lain, Indonesia dengan tegas menyatakan dukungan terhadap kemerdekaan Palestina.
Pada 10 Januari 2017, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi kembali menegaskan, kemerdekaan Palestina adalah salah satu fokus diplomasi RI.
"Khusus mengenai Palestina, kita memiliki dua pilihan, apakah kita akan pasif atau aktif, do nothing or do something. Indonesia chooses to do something," ujar Menlu.

Sabtu, 06 Mei 2017

Muslim dan Yahudi di New York AS "saling membela dan hidup rukun".



Umat Muslim dan Yahudi di New York AS sejak lama saling mencurigai dan berprasangka, tetapi selama tujuh tahun terakhir, hubungan antar umat Muslim dan Yahudi mengalami perubahan besar, menjadi lebih baik, bahkan saling membela satu sama lain. Imam Shamsi Ali, seorang imam asal Tana Toa Sulawesi yang bermukim di New York, dan pemuka agama Yahudi yang berpengaruh Rabi Marc Schneier telah bekerja sama menggelar pertemuan para rabi dan imam di New York pada 2007 lalu, dengan tujuan agar saling memahami. Seiring dengan berjalannya waktu, upaya rekonsiliasi pun dilakukan melalui koalisi internasional yang terdiri dari para Rabi untuk melawan Islamfobia dan juga para Imam yang menentang tindakan anti-semit.
Dalam perbincangan dengan wartawan BBC Indonesia Sri Lestari pada Rabu (12/11) di Jakarta, Imam Shamsi Ali dan Rabi Marc Schneier menjelaskan tantangan utama yang dihadapi adalah menumbuhkan rasa saling memahami antara umat Muslim dan Yahudi yang selama ini banyak diselimuti prasangka. “Sebagian besar Muslim tidak percaya pada Yahudi, dan sebagian besar Yahudi tidak percaya pada Muslim,” kata Rabi Schneier. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir ini hubungan dua komunitas ini telah berubah ke arah yang lebih baik. “Ketika Muslim mendapatkan penghinaan kami akan melakukan pembelaan, begitu pula sebaliknya, ini adalah contoh yang baik yang ingin kami sebarkan di seluruh belahan dunia,” kata Rabi Schneier. Imam Shamsi Ali mengakui tak pernah membayangkan hubungan antara komunitas Yahudi dan Muslim di New York akan berkembang menjadi lebih baik seperti sekarang. “Sepuluh tahun yang lalu mungkin kita tidak pernah membayangkan akan ada imam-imam dan rabi-rabi saling bekerja sama. Bahkan motto kita tak hanya kerja sama, tetapi saling membela. Tapi bagaimana kita saling membela, ketika umat Islam menghadapi penentangan komunitas Yahudi berada di depan dan begitu sebaliknya,” jelas Shamsi Ali.

“Anak-anak Ibrahim”

Imam Shamsi Ali dan Rabi Marc Schneier berada di Jakarta pada pekan lalu, untuk meluncurkan buku mereka yang berjudul “Sons of Abraham” yang telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul "Anak-Anak Ibrahim".
“Pesan dalam buku ini adalah mengingatkan bahwa Islam dan Yahudi di seluruh dunia, memiliki banyak persamaan dalam keyakinan. Takdir yang unik ini, sebagai anak-anak dari Ibrahim yang seharusnya memperkuat ikatan dan welas asih kami dan saling menyayangi,” jelas Rabi Schneier.
Image caption Imam Shamsi Ali dan Rabi Marc Schneier ketika berkunjung ke kantor BBC Indonesia di Jakarta, Rabu (12/11)
Tetapi, Imam Shamsi Ali dan Rabi Marc Schneier mengatakan masih banyak tantangan terutama menyangkut prasangka diantara kedua pemeluk agama ini.
Selain meluncurkan buku, keduanya juga berupaya untuk mendorong tumbuhnya rasa saling memahami diantara umat Islam dan Yahudi, termasuk di Indonesia. Di Jakarta dan Yogyakarta, Imam Shamsi Ali dan Rabi Marc Schneier menemui sejumlah tokoh agama.
“Tantangan besar dalam hubungan antar agama di seluruh dunia adalah untuk menemukan jalan untuk mempersempit kesejangan dan perpecahan antara Muslim dan Yahudi. Tidak ada dua keyakinan lain yang memiliki banyak persamaan dan kemiripan dibandingkan Yahudi dan Muslim,” jelas Rabi Marc Schneier.
“Jihad yang terbesar yang dapat dilakukan oleh umat Islam pada dunia global saat ini adalah memperbaiki diri, salah satu hal yang diperbaiki adalah melihat orang lain, sebab tak mungkin kita bisa dipahami orang lain secara baik kalau kita tidak memahami orang lain dengan baik,” jelas Imam Shamsi Ali.
“Kalau kita ingin dihormati, maka kita harus menghormati orang lain. Bahasa Al Qur’an jelas karena agar kita saling mengenal, bukan agar kamu mengenal dan dikenal tapi agar saling mengenal,” tambah pria kelahiran 1968 ini.

Konflik Israel-Palestina

Saling memahami antara kedua agama ini dapat juga dilakukan sebagai upaya untuk mencari jalan penyelesaian konflik di Palestina dan Israel.
"Dalam memahami konflik Israel dan Palestina ini harus diketahui bagaimana arti Israel bagi orang Yahudi, ketika beribadah kami menghadap Yerusalem dan Islam menghadap Mekkah, tapi Yerusalem juga memiliki arti penting bagi umat Islam, jadi harus memahami perspektif masing-masing agama," kata Rabi Schneier.
Image caption Kompleks Masjid Al Asqa di Yerusalem menjadi tempat suci tiga agama
Sementara Imam Shamsi menuturkan konflik di Timur Tengah terus terjadi karena pihak-pihak yang terlibat masih dikuasai oleh tendensi ekstrimisme.
"Tantangan terbesarnya adalah bagaimana agar suara moderat lebih diperbesar dan diperkuat untuk mencari penyelesaian damai di Timur Tengah, ini yang kami lakukan, sehingga lebih rasional, jika yang bermain adalah sentimen ekstrimis maka sulit menemukan jalan keluar, " jelas Imam Shamsi Ali.
Imam Shamsi mengatakan Umat Yahudi memandang Yerusalem sebagai bagian dari keyakinan mereka, sama halnya dengan Umat Islam tentang Al-Aqsa yang merupakan bagian dari Iman.
"Dua-duanya itu Iman, pertanyaannya adalah Iman itu akan membawa kemana? Apakah Iman ini akan membawa kepada konflik peperangan, permusuhan, saling membunuh, atau justru Iman itu akna membawa kepada persaudaraan, tetangga yang baik, kerja sama, perdamaian, harmoni" jelas Imam Shamsi.
Imam Shamsi Ali mengatakan jika dijalankan dengan baik kedua agama sebenarnya mengajarkan kebaikan dan perdamaian serta persaudaraan, dan hal itu yang dapat menyelesaikan konflik.

Nubuat di dalam tahun 5777 – Ayin Zayin



Shalom sahabat CAZ,
Tidak lama lagi kita akan masuk dalam tahun Ibrani 5777 atau yang dikenal dengan nama Ayin Zayin (Zah-yeen). Tentu anda bertanya-tanya, haruskah kita memperingati tahun baru Ibrani sementara kita bukan orang Ibrani? Menjawab pertanyaan ini harus hati-hati sebab, bisa saja membuat orang justru menjadi skeptis.
Menurut pendapat pribadi, kembali ke dalam akar Yahudi memang sangat penting untuk melihat agenda-agenda Tuhan. Dan ini tidak berarti kita tidak harus menjadi Yahudi. Seperti yang sudah panjang lebar dijelaskan dalam situs ini, bahwa Tuhan sendiri memiliki kalender, yaitu kalender Lunisolar, dan satu-satunya bangsa di dunia ini yang begitu ketat menggunakan kalender ini adalah bangsa Yahudi.
Dalam situs ini juga, telah dimuat banyak fakta-fakta sejarah yang membenarkan bahwa di dalam Kalender Ibrani, selalu ada peristiwa-peristiwa besar terhadap bangsa Yahudi dan bangsa-bangsa lain. Oleh sebab itu, pentin sekali bagi kita untuk melihat agenda Tuhan yang tersembunyi dalam setiap tahun-tahun Ibrani. Dan bagi orang Yahudi sendiri, kembalinya orang-orang Kristen ke dalam akar Yahudi telah tertulis dalam kitab mereka, sebagai penggenapan masa sebelum Mesias datang.
Sekali lagi, mempelajari akar Ibrani tidak menghilangkan identitas kita sebagai orang yang percaya dalam Tuhan Yesus.

5777 – The Year of Perfection

Ayin Vav telah berlangsung dari tanggal 28 September 2015 dan akan berarkir tanggal 2 Oktober mendatang setelah matahari terbenam. Sepanjang Tahun Ayin Vav kemarin, sejarah telah membuktikan bahwa memang terjadi krisis ekonomi yang membuat banyak sekali pabrik tutup sehingga terjadi PHK besar-besaran.
Selepas itu, kita akan masuk tahun tahun Ibrani 5777, yang dikenal dengan nama  The Year of Perfection, atau Tahun Sempurna. Angka 5 sendiri berarti anugerah, dan 7 melambangkan kesempurnaan, berkat, dan hari peristirahatan. Dalam Alkitab sendiri, angka 7 ditemukan dalam Sabat, Shavu’ot, Tishri, Shemitah, Yobel, dan Kerajaan Milenium.
7-2017
Yang paling menarik adalah kalender Ibrani dan Kalender Gregorian akan bertemu di angka yang sama, yaitu angka 7, di tahun 2017 mendatang.
Ps. Steve CioccolantiPs. Steve Cioccolanti menyebutnya sebagai The Mega Prophetic Year. Berikut ini beberapa alasannya:
  1. 2017 merupakan Tahun Yobel spesial, yakni genapnya 50 tahun re-unifikasi Kota Kuno Yerusalem (Timur) dengan negara Israel.
  2. 2017 juga genapnya 70 tahun resolusi PBB untuk berdirinya kembali negara Israel, 29 November 1947, yang disusul dengan pernyataan resmi atas berdaulatnya negara tersebut pada 14 Mei 1948.
  3. 2017 juga berbicara tentang genap 100 tahun runtuhnya kekuasaan Ottoman Turki yang telah menguasai Kota Kuno Yerusalem selama 400 tahun sebelumnya. Turki mulai menduduki Yerusalem dan Israel sejak tahun 1517.
  4. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah 2017 merupakan genapnya 500 tahun Reformasi Gereja yang diprakarsai oleh Martin Luther.

Makna di dalam Ayin Zayin

Ayin ZayinDalam akrasa Ibrani, Zayin menempati urutan ke-7. Bentuknya seperti pedang ataupun tongkat kerajaan. Pedang berbicara mengenai penderitaan, bencana dan masa-masa sukar. Di dalam Alkitab, tertulis jelas mengenai EL-SHADDAD yang merupakan sisi lain dari EL- SHADDAI. EL SHADDAD, EL The Destroyer atau dalam bahasa Indonesianya, Pemusnahan dari Yang Mahakuasa. Karakter Allah, ini muncul juga dalam beberapa tokoh Alkitab antara lain seperti Rut dan Naomi (Rut 1:21) serta  Ayub (Ayub 5:17). Bagi orang percaya, tujuan dari goncangan ini adalah didikan dan pemurnian.
Wahai, hari itu! Sungguh, hari TUHAN sudah dekat, datangnya sebagai pemusnahan dari Yang Mahakuasa. ~Yoel 1:15
Ayin ZayinJika diletakkan bersama vav, maka akan menyerupai mahkota. Ke-3 hal ini menyinggung mengenai kuasa dan otoritas. Hal ini tidak lain mengacu kepada 1 pribadi yaitu Tuhan Yesus Kristus, atau Son of Man, yang sangat identik dengan aksara Vav.
Saudara, masih ingatkah anda nubuatan dari seorang Rabi Ben Samuel? Ia pernah berkata bahwa Pada Yobel ke-10, Yerusalem akan kembali dimiliki oleh bangsa Yahudi dan ini akan menunjukkan awal akhir zaman sekaligus zaman Mesianik.”
Yerusalem masuk ke dalam genggaman Israel di tahun 1967 melalui perang 6 hari. Rabi Ben menyebutkan bahwa inilah yang disebut dengan Zaman Mesianik. Tidak heran, terhitung sejak tahun 1967 banyak sekali tanda-tanda Mesianik yang terjadi, bahkan sampai hari ini. (Untuk penjelasan lebih lanjut, silahkan baca artikel Kapan Akhir Zaman dimulai di sini).
Akhir dari Yobel ke-10 ada di tahun 2017 (1967+50). Lalu apakah ini menandakan bahwa di tahun tersebut Antikristus sudah mulai memerintah, dan menginjak-injak kota Yerusalem seperti kata Alkitab? Atau adakah tanda Mesianik lain yang akan terjadi? Kita saksikan saja apa yang akan terjadi.
nubuat Rabi Ben
Yang menjadi penekanan adalah Rabi Ben mendapatkan wahyu mengenai Israel hingga 500 tahun (10 Yobel), yakni terhitung dari 1517 hingga 2017. Reformasi gereja dimulai oleh Martin Luther di tahun 1517. Dengan demikian genaplah 500 tahun masa Reformasi Gereja.
Apakah ini kebetulan? Anda tentu mengerti bahwa Israel sendiri seringkali menjadi lambang bagi gereja!
ShofarYang terakhir adalah tahun 2017, tepatnya 23 September 2017, bertepatan dengan akhir dari perayaan Rosh Hashana, bulan berada persis di kaki Virgo, matahari di pundak Virgo dan 12 bintang ada di atas kepalanya, persis wahyu 12:1-2. Peristiwa ini lebih dikenal dengan nama Star of Betlehem, bintang yang muncul saat Yesus datang pertama kali dalam dunia sebagai manusia (Baca penjelasan lengkapnya di sini)
Apakah ini mengindikasikan kedatangan Tuhan Yesus? Terlalu cepat untuk mengambil kesimpulan seperti itu. Akan tetapi bisa saja peristiwa ini menjadi sebuah tanda peringatan akan kedatanganNya!
Saya percaya bahwa tanda terahkir yang akan terjadi sebelum Tuhan Yesus kembali adalah tuaian jiwa besar-besaran dari bangsa-bangsa hingga genaplah jumlah yang dikehendaki Allah (Pleroma). Barulah setelah itu, Israel akan diselamatkan, dan Ia akan kembali.
Israel dan gereja merupakan pemegang perjanjian dari Tuhan. Keduanya harus dipulihkan terlebih dahulu, sebab Yesus akan tetap tinggal di Sorga hingga pemulihan Israel (Yerusalem) dan Gereja terjadi.
Kristus itu harus tinggal di sorga  sampai waktu pemulihan segala sesuatu, seperti yang difirmankan Allah dengan perantaraan nabi-nabi-Nya yang kudus di zaman dahulu~Kisah Para Rasul 3:21

Jumat, 05 Mei 2017

Mengapa Yerusalem Penting Bagi Kristen, Islam, dan Yahudi?....

Ketika umat Kristen di seluruh dunia memperingati Paskah, orang Yahudi merayakan liburan Paskah dengan sebuah festival tradisi berziarah ke Yerusalem. Wartawan BBC, Erica Chernofsky mencari tahu mengapa kota ini penting bagi umat Kristen, Islam dan Yahudi, dan tiga agama itu berbagi tempat yang berkaitan dengan figur Ibrahim dalam kitab suci. Yerusalem, nama itu bergema di hati umat Kristen, Yahudi dan Muslim selama beberapa abad berbagi area dan sejarah perselisihan.
Dalam bahasa ibrani disebut Yerushalayim dan al-Quds dalam bahasa Arab, yang merupakan salah satu kota tertua di dunia. Di masa lalu, kota ini pernah ditaklukan, dihancurkan dan dibangun kembali selama beberapa kali dan meninggalkan sebuah bagian berbeda. Ketika wilayah ini menjadi fokus dari berbagai cerita mengenai perbedaan dan konflik antara orang yang berbeda agama, mereka bersatu dalam menghormati tanah suci ini. Kota ini memiliki arsitektur bersejarah, dan terdapat pembagian 'wilayah' bagi Kristen, Muslim, Yahudi dan Armenia. Dikelilingi oleh tembok batu dan menjadi lokasi situs-situs suci di dunia. Setiap bagian mewakili populasinya sendiri. Kristen memiliki dua 'wilayah' karena orang Armenia juga Kristen, dan wilayah mereka paling kecil diantara yang lain, yang menjadi Pusat Armenia tertua di dunia. Menjadi unik karena komunitas mereka telah mempertahankan budaya sendiri dan peradaban di dalam Gereja St James Church dan biara.
Gereja Di dalam wilayah Kristen terdapat Gereja Makam Kudus, yang menjadi situs penting bagi umat Kristen di seluruh dunia. Situs ini berada di tengah sejarah perjalanan Yesus, kematiannya, penyaliban dan kebangkitan. gereja makam kudus,yerusalemGereja Makam Kudus dikelola oleh perwakilan kaum Kristen di Yerusalem (BBC Indonesia).Menurut tradisi Kristen, Yesus disalib di sana, di Golgotha, atau bukit Calvary, makamnya berada di dalam gereja dan juga menjadi lokasi kebangkitannya. Gereja dikelola secara bersama oleh perwakilan kaum Kristen yang berbeda, sebagian besar dari Patriarkat Ortodok Yunani, Biara Franciskan dari Gereja Katolik Roma, dan Patriarkat Armenia, tetapi juga Ethiopia, Koptik, dan Gereja Ortodoks Suriah. Lokasi ini merupakan tempat tujuan ziarah bagi jutaan umat Kristen di seluruh dunia.
Masjid.  Wilayah Muslim merupakan yang terbesar diantara yang lain dan terdapat tempat suci Dome of Rock dan Masjid the al-Aqsa serta dataran tinggi yang dikenal sebagai Haram al-Sharif oleh umat Islam. masjid al aqsa,tempat suci umat islamMasjid al-Aqsa merupakan tempat suci ketiga bagi umat Islam (BBC Indonesia).. masjid ini merupakan tempat suci ketiga bagi Islam setelah Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Masjid al-Aqsa dikelola oleh yayasan Islam Waqf.
Umat Muslim yakin Nabi Muhammad ke Yerusalem dari Mekkah ketika melakukan perjalanan malam yang disebut Isra Mi'raj, diyakini pula di Masjid al-aqsa Nabi Muhammad sholat bersama dengan roh seluruh nabi. Dan di dekat tempat suci Dome of the Rock, terdapat batu yang dipercaya umat Muslim, merupakan tempat yang dipijak nabi sebelum melakukan perjalanan ke surga.
Umat Muslim mengunjungi situs suci tersebut sepanjang tahun, tetapi setiap Jumat pada bulan Ramadhan, ratusan ribu umat Muslim melakukan sholat di masjid.
Tembok. Wilayah Yahudi merupakan tempat bagi Kotel, atau Tembok Barat atau dikenal sebagai Tembok ratapan, yang merupakan bagian dari dinding bagian yang tersisa dari bangunan Bait Suci.
tembok ratapan,yahudi,yerusalemTembok Ratapan merupakan situs suci yang penting bagi umat Yahudi (BBC Indonesia).. Di dalam candi dulu merupakan terdapat ruang Maha Kudus, yang merupakan situs suci bagi umat Yahudi. Kaum Yahudi percaya bahwa lokasi ini merupakan lokasi batu fondasi penciptaan bumi, dan tempat dimana Ibrahim bersiap untuk mengorbankan anaknya Ismail. Hari ini, Tembok Ratapan merupakan tempat terdekat bagi kaum Yahudi untuk berdoa ke Maha Kudus. Lokasi ini dikelola oleh Rabi dan setiap tahunnya jutaan orang Yahudi dari seluruh dunia melakukan ziarah.
(Sumber: bbc.co.uk/indonesia)

Kamis, 04 Mei 2017

The Ayatollah And The Rabbi Who Teamed Up To Help Syrian Refugees

Grand Ayatollah Reza Hosseini Nassab (L) of the Imam Mahdi Islamic Center in Toronto has teamed up with Rabbi Cory Weiss of Temple Har Zion (R) to help raise funds for Syrian refugees moving to
You read that right. A mosque.
It is not an act of vandalism. Nor is it evidence of Muslims-gone-Zionist. The sign is actually an ad for a fundraising event at the end of May, and it sits on the property of a synagogue just next to the mosque.
Viewed by passersby, the scene is at once a reminder of the difficult relationship between Jews and Muslims, and — at least here in suburban Canada — how religious leaders can take the initiative to overcome some of those difficulties.  Temple Har Zion was built on Bayview Avenue in the 1970s. Around the same time, a mosque was built right next door. For years, the head rabbi at the synagogue and the African-born imam from the mosque got along just fine.
About five years ago, the imam and the Muslim congregation from the mosque on Bayview moved to a bigger building. And a new group of Muslims announced they would be moving in beside Har Zion. Their spiritual leader is a grand ayatollah from the Islamic Republic of Iran. And that brought up some questions at the synagogue.
“It wasn’t anxiety,” says Rabbi Cory Weiss of Temple Har Zion. “We wondered, will the politics be different?”
Like the people who belong to the congregation at Har Zion, Weiss calls himself a proud Zionist who supports Israel. So the question on some people’s minds there: Would this new ayatollah in the neighborhood share the same loathing for the Jewish State as the clerics who rule Iran?
“With [the Muslim] community that was here before, they were East African, and so there wasn’t the Middle East politics to worry about,” Weiss says. “With the new community, we didn’t know what to expect. So, we actually tried to get together right away."
Leaders from the two religious centers met. Things were cordial. And they agreed to start working together on a shared issue that matters to people of all faiths: a lack of parking.
Standing in the parking lot between the synagogue and mosque buildings, Weiss explains that cooperation began by sharing calendars.
“We know when the Muslim holidays are and when the events are. They know when our holidays are and when we’re busy. And when possible, we use each other’s lots and it works very well,” Weiss says.
“It’s a way to see each other also, to just wave or wish each other a happy holiday or things like that.”
Weiss and his counterpart at the Imam Mahdi Islamic Center, the Grand Ayatollah Reza Hosseini Nassab, are getting more ambitious. They have teamed up to raise money for Syrian refugees planning to resettle in Canada, where private organizations were invited by the federal government to provide financial support to refugee families.  
Sounding confident, Nassab says that members of the two congregations are on their way to raising more than $100,000. That’s enough to support four Syrian refugee families for a year.
Nassab was born in Iran and came to Canada about 25 years ago. Framing the issue in terms of his Muslim faith, he says Muslims have a religious duty to work for harmony in the country where they live.
“We have to cooperate with other religions, and followers of other religions, to make unity between the people in Canada, because we want the nation of Canada to be united and not to have the same problems that you can see in the Middle East,” Nassab says.
There are still worries about those problems showing up in a place like Canada. Most Iranians in the Toronto area, for example, are Shiite Muslims. And Imam Nassab says a few people at his mosque have raised concerns about helping people from war-torn Syria, when some of them might sympathize with the radical Sunni Muslim rebel groups that the Iranian-backed government in Damascus is fighting.
“[People from the mosque] know that there are fighters in Syria, ... [who] are related to al-Qaeda and ISIS and Nusra, and [that] they are very fanatic and very dangerous for all of the world, including for the Shia communities everywhere.”
Nonetheless, Nassab says he has faith in the Canadian government to keep dangerous people from entering Canada. At the same time, he says he tells people to recognize that there is a human catastrophe unfolding in that part of the world and that Muslims in Toronto and elsewhere need to do their part to help out.
“The glorious Quran says, a person who kills one person, it is like killing all the nations and all the nations in the world. And if you save a person, it is like saving all the people in the world,” Nassab says.
That very same teaching is found in Jewish scripture. And it’s part of the theological basis for the partnership between Imam Nassab and Rabbi Weiss.  
Imam Reza Hosseini Nassab spoke at an event in March hosted by Rabbi Cory Weiss of Temple Har Zion in Toronto, Canada.
Credit: Provided by Cory Weiss
Last month, Nassab and Weiss took part in a public event at Temple Har Zion to announce their joint plan to raise funds for families from Syria. Weiss says it was a beautiful evening.
“There was a feeling in the air that we haven’t had in years, that we were going together to do something really important. And both the imam and I spoke about saving lives, that that’s what this is about. It was certainly one of my proudest moments as a rabbi and as a member of the Jewish community. And as a Canadian, because this is a very Canadian thing to do.”
Weiss says some members of his synagogue have also expressed concerns about the wisdom of welcoming thousands of Syrian refugees, many of whom have heard decades of anti-Israel propaganda at home.
“Look, we don’t pretend that Syrians have been brought up to love Jews. We know they haven’t, in general, because of Middle East politics,” he says.  “There are people who suggest to me that we shouldn’t be doing this. Because, why would you bring in people who hate you?”
Weiss goes on to answer that question by repeating that this effort is all about saving lives.
And, if there is an opportunity to turn some enemies of the Jewish people into friends, he says, that’s even better.
DOUBLE YOUR IMPACT
You made it to the bottom of the article. You must really value independent fact-based journalism. Did you know that when you support PRI today, your contribution will be matched? That’s double the impact.
This matching challenge is made possible by the SC Group, whose charitable resources include FJC, a foundation of donor-advised funds.